Sabtu, 23 April 2011

TAFSIR METAFORIS DAN TA’WIL SEBAGAI METODOLOGI PENAFSIRAN AL QUR’AN

I.    Pendahuluan
      Ada sebuah pernyataan dari Imam Ghozali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin : “ Aku telah mengkaji Al Qur’an dengan segala tenaga pikiran yang aku curahkan dan kutulis dalam beberapa kitab, namun selalu saja aku menemukan hal-hal baru dari Kitab Allah Yang Maha Mulia itu “ (lihat, Ihya’ Ulumuddin, Jilid 3, hal 57).
      Pernyataan Imam Ghozali ini memberikan  inspirasi, bahwa sepintar dan secerdas apapun otak manusia, tentunya tidak akan mampu mengkaji Al Qur’an secara maksimal. Demikian pula dengan saya yang baru 2 minggu jadi mahasiswa sudah dapat tugas membahas tentang Tafsir Metaforis ini. Tentunya hasilnya tidak akan maksimal. Walaupun demikian, tetap saya akan mempresentasikan topik ini untuk memenuhi perintah kewajiban saya sebagai mahasiswa. Mudah-mudahan apa yang saya tulis ini bermanfaat buat kita semua dan mendapat nilai baik dari dosen saya yang terhormat ini.

II.  Pengertian Tafsir
      Tafsir dalam arti bahasa adalah “ menerangkan atau menyatakan “. Menurut istilah adalah :
بَـيَانُ مَعَانِى اْلقُرْآنِ وَاسْتِخْرَاجُ أَحْكَامِهِ وَحِكَمِـهِ
“Menerangkan makna-makna lafadh dalam Al Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya serta hikmah-hikmahnya[1])
  Tujuan belajar Tafsir ialah untuk memberikan pengertian kepada umat manusia tentang isi yang terkandung di dalam Al Qur’an melalui pengenalan kosa-kata yang ada di dalamnya serta pemahaman substansionalnya yang meliputi kepada aturan-aturan hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan sesama manusia dan dengan makhluk-makhluk lainnya. Di samping itu untuk mengetahui tentang hikmah dan petunjuk-petunjuk  Allah SWT dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak.
Para ulama Mufassirin menafsirkan Al Qur’an dengan berbagai macam cara. Ada yang menafsirkan dengan berdasarkan kepada Assunnah, seperti Tafsir Ibn Katsir, dengan Allughoh, (Nahwu dan Shorrof), seperti Tafsir Al Maroghi dan ada pula dengan Almutarodifat (sinonim), seperti Tafsir Al Jalalain atau dengan penafsiran dari segi Balaghoh, seperti Tafsir Al Kassyaf, oleh Syekh Zamahsyari. Dari penafsir-penafsir tersebut di atas ada pula yang menafsirkan dengan cara metaforis atau dalam bahasa arabnya disebut “Tafsir bil Majaz”, atau “Tafsir bitta’wil

III. Pegertian Tafsir Metaforis
      Kata  Metaforis atau  Metafora,  artinya  kias atau gaya bahasa. Yaitu  memperbandingkan  suatu
       benda dengan benda lain yang mempunyai kesamaan sifat [2]). Tafsir ini disebut juga dengan Tafsir bilmajaz. Tafsir metaforis ini mirip dengan Ta’wil
Tafsir bilmajaz ialah membandingkan suatu masalah yang ada dalam Al Qur’an dengan fakta-fakta (hakikat) yang terjadi dan rasional – menurut ukuran manusia -, namun wilayah pembahasan Tafsir bilmajaz ini hanya dari segi redaksionalnya (bahasanya), seperti firman Allah SWT:
واسئـل القـرية 
                                          “ Bertanyalah engkau kepada Desa ”
Ditinjau dari segi penafsiran bilamajaz atau metaforis, lafadl Al Qoryah dalam ayat tersebut disamakan atau dikiaskan dengan penduduk desa.

IV. Pengertian Ta’wil
      Ta’wil diambil dari kata “ Aul “, artinya kembali atau berpaling. Kemudian “Ta’wil” berarti mengembalikan [3])
      Menurut arti istilahnya ialah memalingkan lafadh dari makna yang lahir kepada makna yang muhtamil (makna yang terkandung dalam suatu lafadh), selama lafadh yang muhtamil itu tidak berlawanan dengan Al Qur’an dan Assunnah [4])
      Perbedaan Ta’wil dengan Metaforis/tafsir bilmajaz terletak pada cara menganalisanya terhadap suatu kaliomat dalam Al Qur’an. Kalau Ta’wil tidak terlalu memperhatikan redaksinya, tetapi kepada substansinya atau isi dari bahasanya, sehingga sering suatu lafadl yang di ta’wil berbeda dengan bahasa yang digunakan. Misalnya firman Allah SWT.
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابَا.
Ayat ini di ta’wil dengan Hadits Nabi SAW yang berbunyia :
سبحانك اللهم ربَّنا وبحمدك اللهم اغْـفـرلى  ([5]   
Atau dalam firman Allah SWT :
يَدُاللهِ فَـوْقَ أَيْدِيْهِـم
Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka
Ayat ini bila di tafsir secara metaforis berarti : “ Kekauasaan Allah di atas kekuasan mereka”. Jadi tangan Allah itu di kiyaskan dengan “ kekuasaan Allah “. Bila di ta’wil pengertiannya lebih luas lagi. Bisa berarti keadilan Allah, hukum Allah atau kebijaksanaan Allah dan lain sebagainya. Jadi Ta’wil lebih menekankan kepada pengertian ayat terkandung di dalamnya, sehingga arti kalimat dalm ayat tersebut dipalingkan (bukan dibandingkan) dari arti yang sebenarnya.
Di dalam buku, karangan Qurasy Syihab, mengungkapkan bahwa banyak ulama mufassirin yang tidak mau terhadap penafsiran metaforis, seperti Imam Malik, Al Jahiz dan lain-lain, (lihat, hal 3). Menurut saya, pendapat mereka tidak salah secara hukum Ilahy dan tidak pula dapat dipersalahkan secara rasional, sebab mereka eksis pada konsepsi mereka, bahwa Al Qur’an adalah bahasa Allah yang tidak dapat diperbandingkan dengan bahasa manusia. (Kalau ada yang mengatakan, bahwa bahasa Al Qur’an adalah berasal dari bahasa suku-suku arab pada zaman Jahiliyah, itu dapat dibenarkan, tapi tidak semua bahasa suku-suku arab menjadi bahasa Al Qur’an, tetapi bahasa yang di akui Allah itu saja sebagai bahasa Allah yang kemudian dituangkan dalam Al Qur’anul Kariem). Mayoritas bahasa Al Qur’an itu menggunakan bahasa suku Quraisy, karena bahasa terbaik dari bahasa-bahasa suku lainnya.

V.  Pandangan Para Filsuf, Kaum Bathiniyah dan Kaum Sunni terhadap Ta’wil
      Di dalam Al Qur’a terdapat ayat-ayat Mutasyabihat dan Muhkamat. Mutsyabihat ialah ayat-ayat yang belum jelas maksudnya dan membutuhkan ta’wil atau tafsir. Sebaliknya ayat-ayat Muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas maksudnya dan tidak membutuhkan keterangan yang mendalam.
      Dalil bahwa di dalam Al Qur’an terdapat ayat-ayat Mutasyabihat dan Muhkamat, Firman Allah SWT :
هوالَّذى أََنْزَلَ عليك الكتابَ منه أياتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنّ أمُّ الكتابِ   وأخر مًتَشَابِهَات.
“Dia-lah yang telah menurunkan Al Qur’an kepadamu. Dan di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al Qur’an. Dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat “. (Q.S. Al Imron : 7)
      Para Filsuf (kaum yang memandang bahwa mena’wil ayat-ayat mutasyabihat adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan, baik dalam memberikan pemahaman kepada dirinya maupun kepada orang lain. Hal ini telah dilakukan oleh Rasulullah SAW sendiri. Dan adanya Ta’wil atau penafsiran metaforis dalam Al Qur’an adalah benar dan tidak termasuk “pembohongan”, sebagaimana yang dituduhkan suatu kaum yang tidak mau dengan ta’wil atau metaforis. Sementara menurut Ibn Rusy, Ta’wil atau penafsiran metaforis hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai pemahaman keagaaman yang cukup dan bukan untuk orang awam (lihat buku Masalah Ta’wil Sebagai Metodologi Penafsiran Al Qur’an, Nurlholis Majid, hal. 11)
      Menurut kaum Al Bathiniyah atau Kaum Kebatinan (kaum sufi pengikut aliran Syi’ah Isma’iliyah) tidak berbeda dengan pendapat Ibn Rusy di atas, namun mereka lebih mengutamakan arti batiniyah-nya ( isi kandungan ayat Al Qur’an) ketimbang lahiriyahnya, karena apa yang difirmankan Allah adalah suatu firman yang memberikan makna yang kadang sering kita tidak faham, namun dapat memberi hikmah kepada diri kita sendiri.
      Menurut pandangan Kaum Sunni pada umumnya menerima Ta’wil atau interpretasi metaforis, namun tetap berhati-hati dalam melakukannya, karena khawatir interpretasi itu hanya disesuaikan dengan akal pikiran manusia atau keinginan manusia itu sendiri yang berakibat rusaknya pemahaman terhadap ayat itu sendiri. Kaum Sunni adalah sekelompok kaum intelektual yang ‘Akidahnya merujuk kepada metode Asy’ariyah atau Abi Musa Al Asy’ari. Dan metode Akidah inilah yang masih tetap dipelihara dan digunakan oleh Ahlussunnah wal Jama’ah hingga saat ini.
      Konsep Akidah Asy’ariyah, tentang sifat Allah yang mempunyai mata, tangan, wajah dan Ia bertahta di Singgasana ( ‘Arsy ) mereka membenarkan, namun mata, wajah, tangan dan bertahtanya Allah SWT berbeda dengan makhluk-Nya. Lantas kalau berbeda, tangan, mata dan wajah Allah SWT itu seperti apa ? Maka Al Asy’ari menjawab: “Allah SWT itu Maha Ghoib. Manusia wajib mempercayai sifat-sifat-Nya, namun tidak harus mengetahui dzat-Nya. Oleh karena itu, bertanya tentang dzat-Nya adalah Bid’ah (mengada-ada) dan hukumnya haram”.
VI. Kesimpulan
      Dari uraian tersebut di atas, dapat penulis simpulkan :
  1. Pengertian Ta’wil dan Tafsir berbeda
  2. Pengertian Ta’wil dan penafsiran Metaforis mirip (serupa, tapi tidak sama)
Kalau Ta’wil lebih menekankan kepada pemahaman isi yang terkandung di dalam suatu ayat, sehingga berpaling dari arti kata yang sebenarnya. Sedangkan Metaforis membandingkan arti suatu kalimat dengan arti yang lain yang lebih rasional.
  1. Tujuan adanya ta’wil dan metaforis adalah sama, yaitu memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat Al Qur’an dianggap belum jelas maksudnya.
  2. Ayat-ayat  Al Qur’an terbagi kepada ayat muhkamat  (pasti dan jelas maksudnya) dan mutasyabihat (belum jelas maksudnya)
  3. Kelompok aliran-aliran teologi (tauhid) berbeda pendapat dalam hal pengetrapan Ta’wil terhadap ayat-ayat Al Qur’an. Ada yang mengatakan tidak boleh, dan ada pula yang mengatakan boleh, tapi harus hati-hati dalam melakukannya.
  4. Penafsiran Metaforis terhadap ayat-ayat Al Qur’an menurut penulis, boleh dilakukan hanya pada ayat-ayat Mutsyabihat saja, sementara ayat-ayat Muhkamat tidak perlu ada penafsiran lebih mendalam, tapi bila  diperlukan adanya keterangan (bayan) boleh saja dilakukan, seperti cara melakukan sholat, puasa, zakat dan lain sebagainya.
VII. Penutup
      Demikian makalah ini penulis susun dengan segala keterbatasan pengetahuan penulis tentang tema ini. Semoga bermanfaat. Amin !


[1])   Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Qur’an/Tafsir, Hasbi Asshiddieqy T.M. Dr. Prof, Bulan Bintang Jakarta 1980, hal. 192
[2])  Kamus Ilmiah Populer, Partanto. Pius A , Dahlan Albarry M, Arkola Surabaya 1994
[3])  Op. cit. hal. 194
[4])  Loc cit hal 195
[5]) Ulumuttafsir, Departemen Agama RI, hal. 46

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan kirim komentar dan reaksi anda, akan menjadi masukan berharga buat saya !