Sabtu, 23 April 2011

KEDUDUKAN ASSUNNAH DALAM HUKUM ISLAM



I.  PENDAHULUAN
Oleh : Hj. Ithriyah Baihaqi        
1. Definisi Assunnah
            Assunnah menurut arti bahasa ialah jalan yang diikuti, baik maupun jelek. Arti ini sesuai dengan firman Allah SWT :سنة من أرسلنا قبلك مِن رسلنا
Firman Allah SWT : “ Jalannya orang yang aku utus sebelum kamu dari para utusan-Ku

 من سن سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها إلى يوم Dan sabda Nabi SAW: القيامة . ومن سنّ سنة سيئة فعليه وِزرها ووزرمن عمل بها إلى يوم القيامة
Sabda Nabi SAW :  “Barangsiapa yang berjalan di jalan kebaikan, maka ia akan mendapat pahala dan pahalanya orang yang melakukan perjalanan baik itu hingga hari kiamat. Dan barangsiapa yang berjalan dijalan keburukan, maka ia akan  mendapat dosa dan dosanya orang yang melakukan perjalanan buruk itu hingga hari kiamat “.
           
            Assunnah menurut arti istilah syara’ ialah sesuatu yang datangnya dari ucapan, perbuatan dan ketetapan atau pengakuan Nabi Muhammad SAW.
            Sedangkan mnurut ahli Ushul Fiqh mendefiniskan Assunnah secara terminologis ialah Segala sesuatu yang bersumber adri Nabi Muhammad SAW selain Al Qur’anul Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, atau taqrir yang dapat dijadikan sebagai dasar menetapkan hukum syara’.
            Perbedaan Assunnah dengan Al Hadits, bahwa Al Hadits secara arti bahasa adalah berita atau kabar yang diucapkan Nabi Muhammad SAW.
            Dari pengertian Assunnah dan Al Hadits tersebut di atas, setidaknya ada satu pertanyaan penting yang akan dijadikan kajian lebih mendalam dalam makalah ini, yaitu: Mungkinkah Assunah menjadi dasar-dasar menetapkan hukum atau Syari’at Islam ? Bagaimana kedudukan atau  fungsi Assunah dalam menetapkan suatu Hukum Islam ?

II.  MACAM-MACAM ASSUNNAH
           
            Assunnah ada empat macam, yaitu :
1.  Sunnah Qauliyah (Sunnah yang bangsa ucapan), yaitu Hadits-Hadits atau berita-berita yang diucapkan Rasulullah SAW dalam berbagai topik, tujuan dan dalam keadaan yang berlainan, seperti sabda Nabi :إنماالأعمال بالنيات ...  (Semua perbuatan tergantung pada niatnya)
2.  Sunnah Fi’liyah (Sunnah yang bangsa perbuatan Rasulullah SAW), seperti perbuatan Rasulullah dalam melaksanakan shalat lima waktu, ibadah haji, zakat dan ibadah-ibdah lainnya dalam segala bentuk dan rukunnya.
3.  Sunnah Taqririyah (ketetapan / pengakuan Rasulullah SAW terhadap segala ucapan atau perbuatan para sahabatnya), seperti Hadits tentang Mu’adz bin Jabal yang diutus Rasulullah SAW ke negeri Yaman. Rasulullah SAW bertanya: ”Dengan apa kamu akan memutuskan suatu perkara  (terhadap kaum di negeri Yaman) ? ”. Mu’adz menjawab: Dengan Kitabullah (Al Qur’an), jika saya tidak mendapatkan, dengan Sunnah Rasul, jika tidak mendapatkan juga, maka berijtihad sesuai dengan pendapatku”. Rasulullah SAW menyetujui pendapat Mu’adz bin Jabal ini dengan sabdanya : ” Segala puji bagi Allah yang telah memberi Taufiq kepada utusan-Nya sesuai dengan apa yang Allah dan Rasul-Nya Ridlo’i”. Kemudian Hadits ini yang menjadi dasar kuat, bahwa Assunnah atau Al Hadits dapat menjadi sumber hukum Islam otentik ke dua setelah Al Qur’an dengan segala fungsi dan kedudukannya.
4.  Sunnah Hammiyah, yaitu keinginan Nabi Muhammad SAW untuk melakukan suatu hal, seperti keinginan untuk berpuasa pada tanggal 9 Muharrom

III.  KORELASI ASSUNNAH KEPADA AL QUR’AN

            Korelasi atau hubungan Assunnah kepada Al Qur’an dari segi hukum-hukum Syar’ie ada empat macam :
1. Bayan Taqrir (keterangan sebagai penguat Al Qur’an). Hukum-hukum yang telah tersurat dalam Al Qur’an semakin diperkuat oleh Hadits-Hadits atau  Assunnah Nabi SAW, seperti firman Allah SWT dalam surat Al Baqoroh ayat 188 yang mengharamkan makan hak-hak anak yatim dengan cara bathil. Diperkuat oleh Hadits Nabi SAW ketidak halalan menggunakan harta anak yatim, kecuali untuk menyenangkan anak yatim itu sendiri.
2. Bayan Tafsier  (keterangan sebagai interpretasi ayat atau lafadz Al Qur’an). Dalam ayat-ayat Al Qur’an banyak yang menerangkan hukum yang bersifat mujmal (garis-garis besarnya / global) yang membutuhkan penjelasan/interpretasi yang lebih sempurna dari Hadits Nabi, seperti hal-hal yang terkait dengan teknik pelaksanaan Shalat lima waktu, pemotongan kedua tangan pencuri dan lain-lain.
3. Bayan Tasyri’ (keterangan sebagai penentu hukum sendiri). Hukum-Hukum yang tidak gamblang dijelaskan dalam Al Qur’an dan masih menimbulkan berbagai interpretasi, maka Assunnah bertindak sebagai penentu hukum dalam masalah ini, seperti batalnya wudlu’ seorang lelaki, apabila menyentuh kulit atau bersetubuh dengan isterinya. Maka Al Hadits menjelaskan, bahwa yang dimaksud menyentuh adalah hakiki bukan bermakna majazi (bersetubuh). Kalau kemudian beberapa ulama madzhab tetap berbeda pendapat dalam hal ini, maka harus kembali kepada siapa madzhab yang kita anut.
4. Bayan Nasakh adalah dalil yang membatalkan pengamalan dengan ssesuatu hukum syara’ sebab adanya dalim setelahnya.

IV. KEHUJJAHAN ASSUNAH

            Kehujjahan Assunah atau argumentasi otentik bahwa Assunnah dengan sanad atau riwayat yang sahih yang dimaksudkan untuk tasyari’ datang dari kesepakatan para Ulama. Assunnah dapat dijadikan hujjah dan hukum Islam bagi umat Islam. Artinya hukum-hukum yang datang dari Sunnah-Sunnah Rasululllah SAW dapat didijadikan undang-undang syari’at yang wajib diikuti.
            Dalil kehujjahan Assunnah bersumber dari Al Qur’an, seperti firman Allah :
وما ينطق عن الهوى إن هو إلاوحى يوحى (النجم: 403)
وأنزل الله عليك الكتاب والحكمة وعلمك مالم تكن تعلم وكان فضل الله عليك عظيما (النساء 113)
            Dalil kedua bersumber dari Hadits-Hadits Nabi SAW yang menetapkan bahwa Assunnah adalah sama dengan Al Qur’an sebagai sumber hukum Islam kedua yang hukumnya wajib bagi kaum muslimin mengikuti dan mengamalkannya, seperti yang diterangkan di atas dalam Hadits shahih riwayat Mu’adz bin Jabal. Di samping itu dalil-dalil yang diterangkan Al Qur’an atau Al Hadits, juga telah menjadi ijma’ (kesepakatan sahabat) akan wajibnya mengikuti dan  mengamalkan Assunnah. Mereka harus taat pada Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman Allah QS. Annisa’: 29, 8, Al Hasyer: 7 dan Al Ahzab: 36
            Sedangkan kedudukan Assunnah menurut ahli Ushul Fiqh yang telah disepakati ummat Islam adalah sebagai sumber hukum syara’ dan tuntunan. Hal itu, hingga sekarang sanadnya shohih yang mendatangkan suatu kepastian, keyakinan kebenarannya sehingga dapat menjadi hujjah (argumentasi hukum yang kuat) dalam membentuk hukum syara’ setelah Al Qur’an.

V.  KESIMPULAN

            Dari pembahasan di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa :
1.      Assunnah adalah suatu ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi SAW dan menjadi dalil hukum syara’
2.       Assunnah ditinjau dari segi kedudukannya sebagai sumber hukum kedua setelah Al Qur’an ada empat macam, yaitu : Sunnah Qauliyah, Fi’liyah, Taqririyah dan Hammiyah
3.      Para Ulama sepakat, bahwa Assunnah sebagai sumber hukum Islam ke dua setelah Al Qur’annul Karim yang wajib diikuti dan diamalkan oleh setiap umat manusia dengan alasan sandnya shahih dan diyakini kebenarannya hingga sekarang.
4.      Assunnah ditinjau dari segi dalalahnya ada dua, yaitu Qoth’ie dan Dzonny
5.      Korelasi Assunnah kepada Al Qur’an sebagai Bayan Tafsir, Taqrir,Tasyri’ dan Nasakh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan kirim komentar dan reaksi anda, akan menjadi masukan berharga buat saya !