Sabtu, 23 April 2011

KEWAJIBAN UMAT MANUSIA MENGKAJI AYAT-AYAT ALLAH SWT.


SURAT ALI IMRON 190-191 DAN AL ANKABUT  19-20 TENTANG PENCIPTAAN  LANGIT DAN BUMI SERTA PERINTAH UNTUK MERENUNGKANNYA

I. Makna Firman Allah SWT  dal;am Surat Ali Imron: 190-191 :
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآَيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ (190) الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191)
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Robb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Ali Imran: 190-191)

Sementara itu surat Ali Imran 190-191, menurut Imam al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya al-Jami’ li Ahkam al-Qur'an, mejelaskan tentang kewajiban manusia (muslim) untuk mengadakan pemikiran, perenungan maupun penelaahan kepada ayat-ayat Allah. Ayat di sini dalam arti tidak hanya ayat-ayat qauliyah saja, tetapi juga ayat-ayat kauniyah (alam semesta). Dengan pemikiran, perenungan maupun penelaahan itulah manusia akan sampai pada kesimpulan bahwa semua yang ada tidak lain adalah karena Yang Maha Kuasa, Allah swt. Dengan pemikiran dan penelaahan itulah manusia tidak akan terjebak pada sikap taqlid buta yang merugikan semua pihak, justeru manusia akan dapat bertindak berdasar keyakinannya yang benar yang disandarkan pada ilmu yang telah diperolehnya (Al-Jami li Ahkam al-Qur'an, Juz 1, h. 1204)

II. Asbabun Nuzul
             Thabrani dan Ibn Abu Hatim meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa orang-orang Quraisy datang menemui orang-orang Yahudi. Dan bertanya kepada kaum Yahudi tentang bukti-bukti yang di bawa Nabi Musa a.s. Mereka menjawab: Tongkatnya dan tangannya yang putih bersinar bagi mata pemandang. Kemudian kaum Quraisy menemui kaum Nasrani dan bertanya tentang mu’jizat Nabi Isa a.s. Mereka menjawab : Menyembuhkan orang buta sejak ia lahir, penyakit kusta dan bahkan menghidupkan orang yang telah mati. Setelah itu, kaum Quraisy menemui Nabi Muhammad SAW, mereka minta kepada Nabi Muhammad SAW agar bukit Shofa dijadikannya sebagai bukit emas. Maka Nabi-pun memohon kepada Allah SWT, maka turunlah ayat 190 Surat Ali Imron ini agar mereka merenungkan kejadian bumi dan pergantian malam dan siang.
            Dapatlah di fahami, bahwa untuk menjadikan bukit Shofa menjadi emas adalah perkara yang sangat mudah bagi Allah, karena memang Allah SWT yang menciptakan bukit tersebut, bahkan yang menciptakan alam semesta ini.

III.  Makna Firman Allah SWT dalam Surat al Ankabut: 19-20:
وَلَمْ يَرَوْا كَيْفَ يُبْدِئُ اللَّهُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (19) قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ بَدَأَ الْخَلْقَ ثُمَّ اللَّهُ يُنْشِئُ النَّشْأَةَ الْآَخِرَةَ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (20) 

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaan kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Katakanlah: “Berjalanlah (dimuka) bumi, maka perhatikanlah, bagaimana Allah menciptakannya sekali lagi. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
Surat al-Ankabut ayat 19-20, menjelaskan tentang kewajiban yang seharusnya dijalankan umat Islam untuk mengadakan perjalanan, dalam arti penelitian di muka bumi ini. Sehingga umat Islam dapat menemukan suatu kesimpulan dengan cara mengambil I'tibar baik atas penciptaan alam, hingga sejarah perjalanan manusia dan alam di masa lampau. Apa yang diperoleh dari penelaahan itu, kemudian akan dijadikan bahan refleksi dalam meniti kehidupan di dunia yang akan mengantarkannya selamat dalam kehidupan di akhirat kelak.
Allah SWT menyuruh Nabi Muhammad SAW untuk menerangkan kepada kaum
nya yang kafir agar kiranya mereka berjalan di atas bumi ini sambil merenungkan bagaimana bumi ini diciptakan pada awalnya dan kemudian dikembalikan lagi sebagaimana pada awal kejadiannya; dari ada kemudian tidak ada, kemudian manusia dibangkitkan kembali; dari tidak ada menjadi ada dan dari ada dikembalikan lagi kepada ada, yaitu pada hari kebangkitan yang dikenal dengan yaumu al Ba’tsi. Semua itu harus di yakini bahwa tak seorangpun dapat melakukannya, kecuali Allah SAW Yang Maha Kuasa.

IV. Pemabahasan
           Hasil penelaahan dan penelitian yang telah dilakukan para ilmuwan itu kemudian harus dapat mengantarkan pada pengenalan akan kebesaran Allah, yang dengan sangat mudah membuat segala sesuatu berjalan sesuai siklusnya masing-masing (al-Qurthubiy, Juz 1, h. 4271). Dari awal kejadian, proses kejadiannya hingga akhir dari proses itu sendiri.
           Sayangnya mayoritas yang telah melakukan penelaahan semacam itu justru bukan dari kalangan umat Islam yang sejak lama telah diperintahkan untuk mengkajinya. Sebagai bahan renungan, siapa yang mengkaji tentang awal kejadian atau penciptaan dunia, sehingga memunculkan teori-teori astronomi yang mencengangkan kita? Siapa yang telah mengadakan penelitian arkeologis, sehingga dapat merekonstruksi dunia pada masa lampau ? Semua itu dari kalangan ilmuwan non islam.  Dan masih banyak lagi bahan renungan yang tentu tidak tepat jika dituangkan dalam tulisan ini secara menyeluruh. Walupun demikian, bukan berarti umat Islam tidak pernah menyumbangkan pemikirannya dalam ilmu pengetahuan, justeru sebagian kecil ilmu-ilmu alam itu ditemukan oleh cendikiawan Islam, seperti Abul Abbas al Farghani dengan karyanya: “Jawami’u Ilmi Annujum wa al Harokat Assamawiyah”, Al Khayyan (wafat 1123 M). Sumbangan dalam ilmu astronomi ini adalah penciptaan kalender Gregori XIII, tahun 1572 – 1585 M, Abu Raihan al Bairuni (wafat tahun 1048 M). Di samping beliau ahli dibidang matematika dan sejarah, beliau juga ahli dibidang astronomi. Karyanya dibidang astronomi : “Al Kanun AL Mas’udi” yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa internasional dan dijadikan referensi sekolah-sekolah menengah dan perguruan tinggi. Dan masih banyak ilmuwan-ilmuwan lainnya dari kalagan umat Islam, namun sayangnya hingga saat ini belum ada yang mewarisi perofesionalitas mereka, bahkan yang dari kalangan non Islam-lah yang banyak menguasai bidang ilmu ini. Yang lebih memprihatinkan lagi, justeru dari kalangan non islam yang menguasai pengetahuan agama islam, dan umat islam hanya menjadi “pengagum” mereka.
Ayat tersebut diatas memerintahkan kepada umat manusia untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan membaca dan merenungkan ayat-ayatNya yang terbentang luas di alam semesta jagad raya ini.
            Dalam ayat ini, Allah SWT menyuruh manusia untuk merenungkan penciptaan alam, langit dan bumi. Langit yang melindungi dan bumi yang terhampar, tempat manusiamelakukan hajat hidup. Juga memperhatikan pergantian antara siang dan malam. Kesemua itu dengan ayat-ayat, tanda-tanda kebesaran Allah SWT.
            Langit yang terlihat oleh mata adalah yang di atas dan menaungi kita. Hanya Allah yang Maha Mengetahui berapa lapisnya, yang dikatakan kepada kita hanya tujuh. Sungguh sangat menabjubkan, di siang hari dengan berbagai warna awan-gemawan, mengharukan, dan malam harinya dengan berbagai bintang gemintang yang terus memancarkan sinar kecilnya.
            Bumi adalah tempat kita berpijak, berdiam, penuh dengan aneka keganjilan. Semakin diselidiki, semakin mengandung rahasia ilmu yang belum terurai. Langit dan bumi dijadikan oleh Al-Khalik tersusun dengan sangat rapi dan tertib. Bukan hanya sesaat dijadikan, tetapi setiap saat nampak hidup. Semua bergerak sesuai aturan-aturan yang telah ditetapkan-Nya.
            Silih bergantinya siang dan malam, besar pengaruhnya atas kehidupan kita dan segala yang bernyawa. Terkadang malam terasa pendek, siang terasa panjang dan sebaiknya. Musim pun silih berganti. Musim dingin, panas, hujan, gugur dan semi. Semua ini menjadi tanda-landa kebesaran dan keagungan Allah SWT bagi orang-orang yang berpikir. Bahwa tidaklah semuanya terjadi dengan sendirinya, begitu saja ada. Pastilah kesemuanya ada yang menciptakan, yaitu Allah SWT.
            Orang yang melihat dan memikirkan hal itu, akan meninjau menurut bakat pikirannya masing-masing. Apakah dia seorang ahli ilmu Alam, ahli ilmu bintang, ahli ilmu tanaman, ahli ilmu pertambangan, seorang filosofis, ataupun penyair dan seniman. Semuanya akan terpesona oleh susunan tabir alam yang sungguh luar biasa.
            Terasa kecil diri ini di hadapan kebesaran a1am, terasa kecil alam di hadapan kebesaran penciptanya. Akhirnya, tak ada arti diri, tak ada arti alam, yang ada hanyalah DIA, Yang Maha Pencipta, Allah SWT. Di akhir ayat 190 manusia yang mampu melihat alam sebagai tanda-tanda kebesaran dan keagunganNya, Allah pun menyebutnya sebagai Ulil Albab (orang-orang yang berfikir).
            Di dalam ayat 191, diterangkan pula karakteristik Ulil Albab, yaitu selalu melakukan aktifitas dzikir dan fikir sebagai metode memahami alam, baik yang ghoib maupun yang nyata.
            Dzikir, secara bahasa, berasal dari kata dzakara, tadzakkara,. yang berarti menyebut, menjaga, mengingat-ingat. Secara istilah dzikir berarti tidak pemah melepaskan Allah dari ingatannya ketika beraktifitas. Baik di kala duduk, berdiri maupun berbaring. Ketiga perkara itu menjadi aktifitas manusia dalam hidupnya. Jadi, dzikir merupakan aktivitas yang harus selalu dilakukan dalam kehidupan.
            Dzikir dapat dilakukan dengan hati, lisan, maupun perbuatan. Dzikir dengan hati artinya kalbu manusia harus selalu tertambat kepada Allah, disebabkan adanya cinta, takut dan harap kepada-Nya yang berhimpun di hati (Qolbudz Dzakir). Dari sinilah tumbuh keimanan yang kokoh, kuat dan mengakar di hati. Dzikir dengan lisan berarti menyebut nama Allah dengan lisan.
            Misalnya, saat mendapatkan nikmat mengucapkan Hamdalah. Ketika memulai suatu pekerjaan mengucapkan Basmalah. Ketika takjub mengucapkan Tasbih (Subhanallah). Dzikir dengan perbuatan berarti memfungsikan seluruh anggota badan dalam kegiatan .yang sesuai dengan aturan Allah SWT.
            Fikir, secara bahasa adalah fakara, fakkara, tafakkara yang artinya memikirkan, mengingatkan, teringat. Dalam hal ini berfikir berarti memikirkan proses kejadian alam semesta dan berbagai fenomena. yang ada di dalamnya sehingga mendapatkan manfaat daripadanya dan teringat atau mengingatkan kita kepada sang Pencipta alam, Allah SWT.
            Dengan berdzikir, manusia akan selalu memahami secara jelas petunjuk ilahiyah yang tersirat maupun yang tersurat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai minhajul hayah (pedoman hidup). Dengan fikir manusia mampu menggali berbagai potensi yang terhampar dan terkandung pada alam semesta.
                Aktifitas dzikir dan fikir tersebut harus dilakukan secara seimbang dan sinergis (saling berkaitan dan mengisi). Sebab, jika hanya melakukan aktifitas secara fikir saja, maka hidup manusia akan tenggelam kepada kesesatan.
                Jika hanya melakukan aktifitas berdzikir saja, manusia akan terjerumus dalam hidup yang jumud (tidak berkembang, hidup yang statis). Sedangkan jika melakukan aktifitas dzikir dan fikir tetapi masing-masing terpisah, dikhawatirkan manusia akan menjadi sekuler. Wallahu’alam.


















BAB III

KESIMPULAN

Dari uraian di atas penulis dapat mengambil kesimpulan  bahwa Alam semesta, menunjuk kepada dua ayat di atas, adalah ayat, yaitu tanda atau
rambu bagi kuasa Allah. Sebagai ayat, alam semesta ini harus dibaca
dan dipelajari hingga menimbulkan iman dan kekaguman yang
makin besar kepada al-Khaliq. Nabi pernah memberikan arahan agar manusia
tidak memikirkan Zat Allah, tetapi cukup merenungkan alam ciptaan-Nya. Kata
beliau, ''Pikirkanlah ciptaan Allah, dan jangan memikirkan Zat Allah.''
Jadi, ayat-ayat Allah itu ada dua macam. Pertama, ayat-ayat berupa Kitab Suci (qauliyah). Kedua, ayat-ayat berupa alam semesta sebagai ciptaan Allah
(kauniyah). Menurut filsuf Muslim, Ibn Rusyd, alam semesta justru merupakan
ayat-ayat Allah yang pertama. Dikatakan demikian, karena sebelum Allah SWT
menurunkan Kitab Taurat, Injil, dan Alquran, Allah telah menciptakan alam
jagat raya ini. Karena alam adalah ayat.
Sebagai ayat, alam ini selalu bergerak memenuhi tujuan penciptaan. Karena itu, penelitian terhadap alam diduga kuat dapat mengantar manusia menemukan dan meyakini wujud Allah dan kuasa-Nya. Sebagai ayat, alam ini juga mengandung hukum-hukum Allah yang dalam terminologi Alquran dinamakan takdir dan Sunnatullah.
Takdir merupakan hukum-hukum Allah yang diberlakukan pada alam fisik
(makrokosmos), sedangkan sunatullah merupakan hukum-hukum Allah untuk
alam sosial (mikrokosmos). Sebagai hukum-hukum Allah, keduanya, takdir
maupun Sunnatullah, mengandung kepastian.

Referensi

1.   Al-Qur'an dan Terjemahannya Departemen Agama, RI
2.   Al-Qur’an dan Tafsirnya, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
3.   Ulil Albab, Sosok Cendekiawan Versi Al-Qur’an, Majalah Nurul Fikri, No. 4/II/    Ramadhan 1411-Maret 1991.
4.  Tafsir Al-Azhar Juz IV, Pustaka Panjimas, Prof. Dr. Hamka
5.  Shofwatutafasir, Muh. Ali Asshobuny
5.  Tokoh-Tokoh Ilmu Pengetahuan Pada Masa Kejayaan Islam, Drs. Moh.
     Muhsin Amir 1989
6.  Tafsir Attarbawi, Dr. Rohiman, M.Ag.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan kirim komentar dan reaksi anda, akan menjadi masukan berharga buat saya !