Sabtu, 23 April 2011


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akhir-akhir ini sering terlihat di televisi, seorang isteri mengajukan gugat cerai terhadap suaminya. Berita tersebut semakin hangat, karena si penggugat yang sering diekspos di media televisi adalah figure atau artis-artis terkenal. Gugat cerai tersebut ada yang berhasil, yaitu jatuhnya talak, atau karena keahlian hakim dan pengacara, gugat cerai urung dilanjutkan, sehingga rumah tangga mereka terselamatkan.
Padahal mereka mengikatkan diri dalam lembaga perkawinan adalah dalam rangka melaksanakan perintah Allah s.w.t. sebagaimana banyak dikutip dalam setiap undangan walimahan (resepsi pernikahan), yaitu termaktub dalam surat Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi: “Dan di antara tanda-tandaNya bahwa Dia menciptakan jodoh untuknya dari dirimu (bangsamu) supaya kamu bersenang-senang kepadanya, dan Dia mengadakan sesama kamu kasih sayang dan rahmat. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berfikir”. Berdasarkan ayat ini pula, maka tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa-rahmah.
Bisa jadi, karena mereka sudah tidak dapat mempertahankan keluarga yang sakinah, mawaddah wa-rahmah, maka salah satu pihak menggunakan haknya, baik suami atau isteri untuk mengajukan gugatan cerai, padahal dalam Islam, cerai memang dihalalkan Allah, namun sangat dibenci olehNya (“Sesungguhnya perbuatan yang boleh, tetapi sangat dibenci Allah adalah talak”, (Hadits riwayat Abu Daud dan Ibn Majah).

B. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini agar pembahasan lebih terfokus ada beberapa rumusan masalah
di antaranya:
1.  Apa pengertian khulu dan fasakh?
2.  Apa akibat hukum khulu’ dan fasakh?

KHULU’

A. Pengertian Khulu’
             Al-Khulu’dalam bahasa Indonesia disebut Gugatan cerai. Kata Al-Khulu dengan didhommahkan hurup kha’nya dan disukunkan huruf Lam-nya, berasal dari kata ‘khul’u ats-tsauwbi. Maknanya melepas pakaian. Lalu digunakan untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk melepas dirinya dari ikatan pernikahan yang dijelaskan Allah sebagai pakaian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”[Al-Baqarah : 187] Sedangkan menurut pengertian IATILAH SYARA’ , para ulama mengatakan dalam banyak defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya Al-Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya . Adapaun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau selainnya dengan lafadz yang khusus” .

B. Hukum Khulu’
Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah SWT.
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim” [Al-Baqarah : 229]. Hadits riwayat Ibnu Abbas r.a.
Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi SAW seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah SAW bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah SAW memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” [HR Al-Bukhari]
Demikian juga kaum muslimin telah berijma’ (sepakat) dalam masalah tersebut, sebagaimana dinukilkan Ibnu Qudamah [3], Ibnu Taimiyyah [4], Al-Hafizh Ibnu Hajar Asy-Syaukani [6], Syaikh Abdullah Al-Bassam [7] dan Muhammad bin Ali Asy-Syaukani mereka menyatakan, bahwa para ulama berijma’ (sepakat) tentang syari’at Al-Khulu. Menurut madzhab Imam Syafi’ie, bahwa khulu’, apabila saling diterima dengan senang hati kedua suami isteri, maka sah dan sama hukumnya dengan talak.

C. Ketentuan Hukum Khulu’
Menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Al-Khulu terdapat hukum-hukum taklifi sebagai berikut:
  1. Makruh dilakukan sebagaimana perbuatan talak. Ketentuannya, sang istri benci tinggal bersama suaminya, karena kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah SWT dalam ketaatan kepadanya, dengan dasar firman Allah SWT: “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebusnya (Al Baqoroh : 229)
  2. Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah Al-Khulu’ ini dengan pernyataannya, bahwasanya Al-Khulu’ ialah seorang suami menceraikan isterinya dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang, kecuali jika keduanya atau salah satunya merasa khawatir tidak dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Hal ini bisa muncul karena adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya. Demikian juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya membutuhkan penceraian, karena khawatir dosa yang menyebabkan timbulnya Al-Bainah Al-Kubra (Perceraian besar atau Talak Tiga. Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Al-Khulu’ (gugat cerai) bagi wanita, apabila sang isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa karena tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar dan tidak memilih perceraian. Di haramkan Khulu’, Karena Dua Keadaan: a). Dari Sisi Suami. Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka Al-Khulu’ itu batil, dan tebusannya dikembalikan kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya, jika Al-Khulu’ tidak dilakukan dengan lafadz talak, karena Allah SWT berfirman.
“Janganlah kamu menyusahkan mereka, karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata” [An-Nisa : 19] . Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak mengambil tebusan tersebut. Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah agar isteri tersebut membayar terbusan dengan Khulu’, maka diperbolehkan dengan sesuai ayat tersebut di atas. b). Dari Sisi Isteri
Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami isteri tersebut. Serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu, maka ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah SAW: “Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya aroma surga” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dan disahkan oleh Syaikh Al-Albani. Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, maka sang isteri disunnahkan Khulu’ Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hambal bahkan hukumnya Wajib
Khulu’ itu dilakukan bagi istri, suaminya tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan. Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari Islam dan menjadikannya murtad.

D. Cara melakukan Khulu’
Secara umum Khulu’ dapat dilakukan dengan tiga cara:
Pertama menggunakan kata khulu’,
Kedua menggunakan kata cerai (talak),
Ketiga dengan kiasan yang di sertai dengan niat menceraikan.
Dalam qaul qodim imam syafi’i berpendapat bahwa khulu yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata kiasan mengakibatkan fasakh perkawinan. Yaitu  perkawinan  itu batal dengan sendirinya. Dan akad pernikahan tidak berlaku. Sedangkan dalam qaul jadid beliau berpendapat bahwa khulu’ yang dilakukan dengan menggunakan kata kiasan tidak mengakibatkan fasakh perkawinan, karena kata-kata kinayah dalam talak tidak memerlukan niat begitu pula khulu’.  
  
FASAKH

A. Pengertian Fasakh
            Fasakh adalah putusnya perkawinan melalui pengadilan yang hakikatnya hak suami-istri untuk melakukannya, karena terjadinya sesuatu yang tidak disenangi yang terjadi setelah akad berlangsung. Misalnnya suatu penyakit yang muncul setelah akad yang menyebabkan tidak harmonisnya suatu perkawinan.  Selain Fasakh ada juga istilah yang hampir sama dengan fasakh yaitu fasid. Maksud dari fasid adalah suatu putusan pengadilan yang diwajibkan melalui persidangan bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut mempunyai cacat hukum, hal itu disebabkan misalnya tidak terpenuhinya persyaratan atau rukun nikah atau disebabkan di langgarnya ketentuan yang mengharamkan perkawinan tersebut.

B. Akibat Hukumnya
Perceraian yang diakibatkan fasakh tidak mengurangi bilangan talak sebab fasakh bukan bagian dari talak. Jadi kalau yang telah bercerai itu kemudian kembali melalui pernikahan yang baru, maka tidak ada mahar bagi istri.
  
KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat di ambil kesimpulan di antaranya:
Khulu’ maupun Fasakh adalah dua bentuk talak yang dikategorikan atas inisiatif isteri, dan tak ada perbedaan yang jelas. Ini sebagai bukti bahwa Islam tetap mengakomodasi hak-hak wanita (istri), walaupun hak dasar talak ada pada suami, namun dalam keadaan tertentu, istri juga mempunyai hak yang sama, yaitu dapat melakukan gugatan cerai terhadap suaminya melalui Khulu’ maupun Fasakh.

DAFTAR PUSTAKA

1.      Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab
2.      Rahim Muhammad Al Jamal Fiqih Muslimah (Ibadat Mu’amalat)
3.      Ma’mun Asrori, Khulu’ dan Fasakh Dalam Hukum Islam
4.      Moh. Shalih Utsmanaien,  Mausu’ah al Fatawa
5.      Al Allamah Syekh Muhammad bin Qosim Al Ghuzzy Syarah Fathu alqorieb almujib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silakan kirim komentar dan reaksi anda, akan menjadi masukan berharga buat saya !